Penahanan ijazah oleh perusahaan dianggap melanggar HAM dan menimbulkan konflik relasi kuasa.
Penahanan Ijazah: Pelanggaran Hukum dan HAM
Praktik penahanan ijazah oleh perusahaan, baik swasta maupun BUMN, telah menjadi sorotan publik. Banyak karyawan yang merasa terjebak dalam situasi ini karena minimnya pengawasan pemerintah dan ketakutan untuk melapor. Menurut Dr. Murti Pramuwardhani Dewi, pakar hukum ketenagakerjaan dari UGM, tindakan ini jelas melanggar hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Meskipun tidak tercantum dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Surat Edaran Menaker RI Nomor M/5/HK.04.00/V/2005 melarang penahanan ijazah dan dokumen pribadi pekerja.
Relasi Kuasa dan Tuntutan Hukum
Konflik relasi kuasa antara pekerja dan pemberi kerja sering kali menjadi alasan minimnya laporan penahanan dokumen. Jika dokumen rusak atau hilang saat ditahan perusahaan, pemilik berhak menuntut. Fenomena ini berakar dari perbedaan kepentingan: pekerja menginginkan jaminan kesejahteraan, sementara perusahaan menginginkan produktivitas. Dr. Murti menekankan pentingnya perjanjian kerja tertulis yang adil dan sesuai hukum. Asas Pacta Sunt Servanda menegaskan bahwa perjanjian yang dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya.
Maraknya penahanan ijazah dipicu oleh persaingan ketat di pasar kerja. Ketidakseimbangan antara jumlah tenaga kerja dan lapangan kerja membuat posisi tawar pekerja rendah. Pemerintah diharapkan memperketat regulasi dan pengawasan untuk melindungi pekerja. Prof. Dr. Susetiawan dari UGM menambahkan bahwa ijazah adalah tanda kesejahteraan subjektif. Jika rusak atau hilang, pekerja tidak bisa mengajukan penggantian. Perusahaan seharusnya cukup meminta salinan legalisir atau menunjukkan ijazah asli, lalu segera mengembalikannya.